#navbar-iframe{height:0px;visibility:hidden;display: none !important}
Maklumat Pengajian & Program Majlis Ta'lim Rahmatan Lil A'lamin ... Sila klik Majlis Ilmu atau Program Dakwah...

Khamis, 24 Jun 2010

Buah Cinta yang Harus Dipetik

Kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW akan membuahkan hasil dan faedah yang amat banyak. Yang terbesar dari faedah yang akan didapat terdapat pada tiga hal.
Pertama, ketaatan dan peneladanan, serta cermat saat melaksanakannya. Tidak jarang orang yang akan menaati perintahnya justru terjerumus masuk dalam dosa karena tidak cermat memahami maksud perintah itu.
Contoh kecil, taat pada suami dan orangtua adalah wajib, tetapi akan menjadi dosa ketika perintahnya berisi agar istri atau putrinya menanggalkan jilbab. Saling menasihati adalah perintah agama, tapi jika nasihat itu tidak diucapkan dengan santun, bukan pahala yang diterima, melainkan justru dosa yang tanpa disadari akan didapat. Hal-hal seperti ini tidak akan terjadi kalau kecintaan kepada Nabi SAW tumbuh secara tulus, memahami agama ini dengan bimbingan para ulama, dan selalu mengevaluasi diri atas tindak-tanduk sikap dan ucapan yang dilakukan setiap saat.
Seperti telah disebutkan, merayakan kelahiran Muhammad SAW memang merupakan amaliyah mulia dan bermanfaat sebagai media pengingat bagi umat. Tapi dalam beramal, termasuk mengadakan acara-acara keagamaan, tidaklah cukup bila hanya didasarkan niat baik. Bila karena penyelenggaraannya menyebabkan kepentingan umum terabaikan, kesan negatif terhadap Islam dan umatnya dapat saja muncul. Karenanya, seperangkat syarat berdakwah memang harus diperhatikan dan terpenuhi. Bila tidak, dakwah bukan hanya menjadi tidak efektif, malah dikhawatirkan menjadi modus yang tanpa disadari mencemarkan nama baik ajaran Rasulullah SAW itu sendiri, terutama di mata mereka yang belum memahami kemuliaan syari’at Islam.
Umat Islam di berbagai tempat memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai cara mereka dalam mengekpresikan rasa cinta kepada manusia teragung sepanjang zaman itu. Berbagai aktivitas kebaikan dilakukan di dalamnya. Melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, memperdengarkan riwayat hidup Nabi yang sarat keteladanan, membaca shalawat bersama, menyampaikan nasihat-nasihat agama untuk saling mengingatkan dalam kebaikan, hingga menyediakan hidangan makanan untuk memuliakan para tamu dan sebagai ungkapan rasa suka cita bersama dalam mengenang hari yang amat mulia.
Setelah itu, dapatkah kita, para pecinta Maulid, mengambil hikmah sepulangnya dari menghadiri acara tersebut? Apakah kita semua meneladani seluruh perilaku dan tindakan beliau SAW?
Itulah sebabnya para ulama mengatakan, momentum Maulid selayaknya bukan hanya diperingati setiap tahun, tetapi setiap saat, di setiap langkah kehidupan manusia di alam dunia ini. Dengan menghadirkan makna Maulid, sebagai media pengingat, setiap saat di hati pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan selalu terngiang, sebagai kendali kehidupan dalam menapaki jalan kebenaran menuju keridhaan Ilahi. Oleh sebab itu pula, faedah kedua terbesar dari buah kecintaan pada Rasulullah SAW yang seharusnya dapat dipetik adalah keinginan sekuat tenaga agar kita keluar dari segala nafsu serta segala keangkuhannya. Nafsu adalah perusak segala ketaatan. Seseorang akan menolak kebenaran yang sebenarnya dia ketahui, enggan untuk mendengar nasihat, karena merasa bersih dan berilmu. Semua itu karena nafsu.
Dalam beribadah pun, nafsu ikut menunggangi tanpa diundang. Iman menjadi tidak sempurna. Bahkan, dapat saja ibadah menjadi gugur kalau seseorang menjadikan hawa nafsunya itu sebagai imamnya. Nabi SAW bersabda, “Tidaklah beriman seorang di antara kalian hingga ia mengalahkan hawa nafsunya, mengikuti ajaran yang aku bawa.”
Ketika rasa cinta kepada Rasulullah SAW benar-benar tumbuh di hati secara tulus, ia akan mengikuti seluruh ajaran yang beliau bawa. Hingga, ia pun berusaha sekuatnya menghindar dari hawa nafsunya. Tidaklah mungkin rasa cinta yang tulus akan terkalahkan oleh hawa nafsunya. Faedah ketiga bagi mereka yang di hatinya benar-benar tumbuh rasa cinta kepada Rasulullah SAW adalah kesiapan untuk mengorbankan jiwa dan raga, zhahir dan bathin, untuk membela agama yang beliau bawa. Meski hidup kita tak semasa dengan kehidupan beliau, ketidakrelaan pada peremehan hukum-hukum Allah SWT merupakan salah satu bentuk ekpresi rasa cinta kepada Rasulullah SAW.
Demikian pula, perjuangan guru dengan ilmunya, yang kaya dengan hartanya, yang miskin dengan tenaga dan doanya, para pejabat dengan jabatannya, dan seterusnya pada setiap profesi yang dijalani masing-masing, harus berpadu padan dalam berkorban, sebagai ungkapan cinta kepada Rasulullah SAW. Dengan itu semua, barulah hati beliau menjadi senang dan rela. Bukankah mencintai seseorang berarti kesiapan untuk berkorban agar hati orang yang dicintai menjadi senang karenanya?
Terlepas dari itu, yang penting untuk diingat, sesungguhnya umat beliaulah yang lebih butuh untuk mencintai beliau, bukan sebaliknya. Sayyidina Umar bin Khaththab bercerita, “Aku dan beberapa sahabat lain berjalan bersama Rasulullah SAW. Kemudian beliau memegang tanganku seraya melanjutkan perjalanan. Saat itu aku berkata, ‘Ya Rasulullah, demi Allah aku mencintaimu.’ Lalu Nabi Muhammad SAW bertanya kepadaku, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada anakmu, wahai Umar?’
‘Ya,’ jawabku.
Beliau kembali bertanya, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada keluargamu?’
‘Ya,’ jawabku.
Beliau bertanya lagi, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada hartamu?’
‘Ya,’ jawabku.
Kemudian beliau bertanya, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada dirimu sendiri?’
‘Aku mencintai dirimu dari segala sesuatu kecuali atas diriku,’ jawabku. Maka beliau berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah sempurna iman seorang di antara kalian hingga diriku lebih kalian cintai dari kecintaan kalian pada diri kalian sendiri.’
Beberapa waktu kemudian aku kembali kepada beliau dan mengatakan, ‘Ya Rasulullah, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.’ Rasulullah mengatakan, ‘Baru sekarang, wahai Umar’.”
Saat diceritakan tentang hal itu, Abdullah bin Umar putranya sempat bertanya, “Ayahku, apa yang telah kau lakukan sehingga kau kembali guna menyatakan hal tersebut?”
Umar menjawab, "Wahai anakku, aku keluar dan bertanya pada diriku sendiri, siapa yang lebih membutuhkan pada hari Kiamat nanti? Aku, ataukah Rasulullah? Aku sadar, aku lebih butuh kepada beliau daripada beliau kepadaku. Aku ingat bagaimana tadinya aku berada dalam kesesatan, kemudian Allah menyelamatkan diriku melaluinya.”