#navbar-iframe{height:0px;visibility:hidden;display: none !important}
Maklumat Pengajian & Program Majlis Ta'lim Rahmatan Lil A'lamin ... Sila klik Majlis Ilmu atau Program Dakwah...

Sabtu, 13 Ogos 2011

Fathimah Az-Zahra ra


Putri bungsu Rasulullah SAW dilahirkan lima tahun sebelum masa kenabian. Ia lahir saat kaum Quraisy membangun kembali Ka'bah. Ketika Ibu dan saudara-saudaranya memeluk Islam, dalam usia yang sangat muda Fathimah juga memeluk Islam. Fathimah tumbuh dalam bimbingan ayah yang berahlak mulia dan ibu yang sangat menjaga kesucian dirinya.
Tak heran ia tumbuh menjadi gadis yang mulia. Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, Fathimah ikut serta. Lima bulan setelah hijrah, Fathimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib dalam usia delapan belas tahun. Sebelumnya, Abu Bakar shiddiq dan Umar bin Khattab pernah mengajukan lamaran kepada Rasulullah saw tetapi ditolak secara halus. Rasulullah SAW menerima lamaran Ali setelah sebelumnya meminta persetujuan Fathimah.

Saat meminang Fathimah, menurut Ikrimah, Rasulullah SAW bertanya kepada Ali, "Apa yang engkau miliki sebagai mahar?"
Ali menjawab," Aku tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan sebagai mahar."
Beliau berkata lagi, "Bukankah engkau mempunyai baju besi yang aku berikan pada hari anu?"
Ali menjawab, "Ya, aku punya."
Kemudian Ali pun memberikan baju besi itu sebagai mahar bagi Fathimah. Ali juga menjual seekor unta dan sebagian barang miliknya senilai 480 dirham. Sebagian uang dibelikannya wangi-wangian, sebagian lagi dibelikan barang-barang. Pesta pernikahan Fathimah dan Ali dirayakan dengan menyembelih seekor domba dan membuat makanan dari gandum yang dikumpulkan oleh orang-orang Anshar. Pada malam pernikahan mereka, menurut Buraydah, Rasulullah SAW meminta sebuah bejana dan berwudhu dari bejana itu kemudian menuangkan air ke tubuh Ali.

Kemudian beliau berkata," Ya Allah, berkatilah mereka dan limpahkanlah karunia atas mereka dan berkatilah keturunan mereka." Hari-hari seusai pernikahan dilalui Fathimah dengan kesederhanaan bersama suaminya. Mereka tidur di atas kulit domba dengan bantal berisi jerami. Perabot rumah yang dimiliki putri Rasulullah ini hanya dua buah penggilingan, sebuah bejana air dan dua buah kantung kulit dari air.
Fathimah bahkan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangganya sendiri. Suatu hari Ali berkata kepada Fathimah," Demi Allah aku telah menimba air sampai dadaku luka. Allah telah memberikan ayahmu tawanan perang, pergi dan mintalah kepada beliau seorang pelayan." Fathimah pun berkata, "Demi Allah, aku telah menumbuk gandum sampai tanganku lecet." Fathimah lalu menemui Rasulullah. Tetapi ia merasa sungkan untuk mengemukakan maksudnya dan akhirnya, ia kembali pulang.
Bersama suaminya, ia kemudian menghadap Rasulullah SAW untuk mengutarakan maksudnya. Tetapi Rasulullah SAW menolak permintaan mereka sehingga merekapun pulang dengan tangan hampa. Pada malam harinya, Rasulullah mendatangi Fathimah dan Ali saat keduanya sudah berada di bawah selimut. Saat mereka akan bangkit, Rasulullah melarangnya. Beliau berkata," Tetaplah di situ. Maukah kalian kuceritakan sesuatu yang lebih baik dari yang kalian minta tadi?"
"Tentu saja." Jawab mereka berdua.
Rasulullah meneruskan, "Yaitu beberapa kalimat yang diajarkan Jibril kepadaku. Setiap selesai shalat, ucapkanlah subhanallah sepuluh kali, Alhamdulillah sepuluh kali dan Allahu akbar sepuluh kali. Dan ketika kalian beristirahat di tempat tidur, ucapkanlah Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahu Akbar 33 kali."

Dari pernikahannya ini, Fathimah dikaruniai empat orang anak: Hasan, Husein, Ummu Kultsum dan Zainab. Perkawinan mereka berlangsung selama kira-kira sebelas tahun sampai Fathimah meninggal dunia. Selama menjadi suami Fathimah, Ali tidak pernah menikah dengan perempuan lain. Awal bulan Ramadhan tahun ke 11 hijrah Fathimah jatuh sakit. Kondisi kesehatan Fathimah terus memburuk. Menurut Salma, menjelang akhir hidupnya Fathimah berkata kepadanya, "Tuangkanlah air untuk aku mandi." Maka Salma menuangkan air untuknya. Kemudian Fathimah meminta baju yang baru dan mengenakannya sebelum berkata lagi, "Angkat tempat tidurku ke tengah-tengah ruangan." Salma memindahkan tempat tidur itu dan kemudian Fathimah berbaring menghadap kiblat. Beberapa waktu berselang Fathimah berkata, "Ibu, aku akan menemui ajal sekarang. Aku telah mandi. Jadi jangan biarkan orang lain membuka bahuku."

Tak lama kemudian, Fathimah meninggal dunia. Ia meninggal pada tanggal 7 Ramadhan, enam bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Sesuai dengan apa yang disampaikan Rasulullah SAW menjelang wafatnya Fathimah adalah keluarganya yang paling cepat menyusul beliau.

Jumaat, 12 Ogos 2011

Abdullah bin Umar ra


Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa muda, Abdullah bin Umar mendapat pendidikan dari lingkungannya, yang selalu mendapat pembinaan semangat Islam. Dia dididik oleh ayahnya yang disiplin dan taat kepada agamanya.
Pada Perang Badar dan Uhud, Abdullah bin Umar tidak ikut perang. Pada Perang Khandak (parit), Abdullah bin Umar ikut serta. Semenjak inilah Abdullah bin Umar ikut perang. Usia beliau waktu itu baru lima belas tahun.

Abdullah bin Umar pada suatu malam yang sunyi telah bermimpi yang aneh. Dalam mimpinya itu, dia duduk di masjid sedang mengerjakan salat. Kemudian melihat ada yang turun mendekati dia untuk mengajak pergi ke suatu tempat yang indah pemandangannya.
Lalu, Abdullah bin Umar menceritakan tentang mimpinya itu kepada saudaranya, yaitu Hafsah, istri Nabi. Sewaktu Nabi mendengarkannya, Nabi berkata, "Abdullah adalah seorang anak yang cakap, sebaiknya engkau setiap malam lebih banyak berdoa dan berzikir."
Abdullah bin Umar dengan perasaan senang dan ikhlas melaksanakan nasihat Nabi, beribadah sepanjang malam, istirahatnya berkurang.
Pada waktu shalat ia menangis. Kadang-kadang air matanya keluar, dan mohon ampun kepada Allah. Sehingga, Rasulullah SAW merasa belas kasihan kepadanya. Maka, beliau memberi julukan kepadanya yaitu "Anak muda yang cakap".
Setelah Rasulullah SAW wafat, ia senantiasa ingat apa yang pernah ia alami selama bergaul dengan Nabi. Apabila membaca Alquran, dia sampai menangis. Demikian rasa takwa dan takutnya kepada Allah SWT.
Dengan keakraban Abdullah bin Umar dengan Nabi, menyebabkan dapat menghayati ajaran yang terkandung di dalamnya.

Abdullah bin Umar pernah menjadi guru. Murid-muridnya datang dari berbagai tempat untuk belajar dan mendapat bimbingannya.
Mencontoh sifat-sifat Nabi Muhammad SAW seperti cara memakai pakaian, makan, minum, dan lain-lain. Dengan dasar inilah, ia dapat digolongkan seorang yang berjiwa besar. Dia disegani dan dihormati.
Ketika wafatnya Utsman terjadi huru-hara. Para sahabat menginginkan Abdullah bin Umar menduduki jabatan khalifah, namun Abdullah bin Umar tidak menerima jabatan yang dianggapnya besar itu. Abdullah bin Umar ingin memperbanyak amal ibadah kepada Allah. Muawiyah pernah berpesan kepada anaknya, Yazid, "Abdullah bin Umar memang terlalu sibuk dengan amaliah dan ibadah kepada Allah SWT, sehingga dia tidak mau menerima tawaran menjadi khalifah itu."

Mengerjakan shalat malam tidak pernah lupa. Kain sajadah untuk sujud tetap terbentang dekat tempat tidurnya. Sebelum tidur, beliau salat terlebih dulu. Sejenak tidur, bangun lagi untuk mengambil air wudhu. Kemudian shalat beberapa rakaat. Hampir setiap malamnya tidak kurang dari empat atau lima rakaat.
Abdullah bin Umar wafat pada tahun 72 Hijriah, tepat pada usia 84 tahun.

Abu Bakar Ash-Shiddiq ra

Abu Bakar lahir tahun 573 M dari sebuah keluarga terhormat di Mekkah dua tahun satu bulan setelah kelahiran Rasul Muhammad SAW. Nama aslinya Abdullah Ibn Abu Kuhafah, lalu ia mendapat gelar Ash Shiddiq setelah masuk Islam. Semenjak kanak-kanak, ia adalah sosok pribadi yang terkenal jujur, tulus, penyayang, dan suka beramal, sehingga masyarakat Mekkah menaruh hormat kepadanya. Ia selalu berbuat yanbg terbaik untuk menolong fakir miskin.

Abu Bakar adalah sahabat yang terpercaya dan dikagumi oleh Rasulullah SAW. Ia pemuda yang pertama kali menerima seruan Rasul tanpa banyak pertimbangan. Seluruh kehidupannya dicurahkan untuk perjuangan suci membela dakwah Rasul. Rasul SAW sangat menyayanginya sehingga seringkali untuk menggantikan Rasul menjadi imam shalat, ia lah yang ditunjuk. Saat Rasul hijrah ke Madinah, Abu Bakar menyertainya. Kedekatan abu Bakar dengan Rasul dalam perjuangan Islam ibarat Rasul dengan bayangannya.
Sampai akhir hayatnya, Rasulullah Muhammad SAW tidak menunjuk seseorang sebagai khalifah, sehingga ketika beliau meninggal dunia masyarakat muslim dalam kebingungan. Dan terdapatlah golongan Muhajirin dan Anshar berusaha memilih penerus dan penggantinya sambil masing-masing memunculkan tokohnya - meski pada akhirnya kedua tokoh dari masing-masing golongan yang mengusulkan tersebut menolak sambil berkata "Tidak, kami tidak mempunyai kelebihan dari kamu sekalian dalam urusan ini." Dalam situasi yang semakin kritis, Umar dari golongan Muhajirin mengangkat tangan abu Bakar seraya menyampaikan sumpah setia kepadanya dan membaiatnya sebagai khalifah. Sikap Umar tersebut pun diikuti oleh Abu Ubadiyah dari Anshar beserta tokoh-tokohnya yang hadir. Mereka menyatakan kerelaannya membaiat Abu Bakar sebagai khalifah.

Dalam pidato pelantikannya Abu Bakar berkata "Saya, bukanlah yang terbaik diantara kamu sekalian. Oleh karena itu saya sangat menghargai dan mengharapkan saran dan pertolongan kalian semua. Menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang terpilih sebagai penguasa adalah kesetiaan yang sebenar-benarnya; sedang menyembunyikan kebenaran adalah suatu kemunafikan. Orang yang kuat maupun orang yang lemah adalah sama kedudukannya dan saya akan memperlakukan kalian semua secara adil. Jika aku bertindak dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, taatilah aku, tetapi jika aku mengabaikan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, tidaklah layak kalian mentaatiku."

Pidato tersebut berisi prinsip-prinsip kekuatan demokratis, dan bukan kekuasaan yang bersifat otokratis. Seorang khlaifah wajib menjalankan pemerintahan sesuai dengan ajaran Islam dan mempertanggungjawabkan segala kebijaksanaannya kepada rakyatnya.

Semenjak diangkat sebagai Khalifah, Abu Bakar menghadapi berbagai permasalahan. Program pertama yang dicanangkan Abu Bakar setelah ia menjadi khalifah, adalah meredam pemberontakan, memerangi orang-orang yang membangkang tidak mau membayar zakat. Pemurtadan saat itu juga terjadi dimana-mana dan menimbulkan kekacauan. Sepeninggal Rasulullah SAW, memang banyak umat Islam yang kembali memeluk agamanya semula. Mereka berasa berhak berbuat sekehendak hati. Bahkan lebih tragis lagi, muncul orang-orang yang mengaku Rasul, antara lain Musallamah Al Kadzdzab, Tulaiha Al Asadi, dan Al Aswad Al Ansi.

Untuk meluruskan akidah orang-orang murtad tersebut, Abu Bakar mengirim sebelas pasukan perang ke sebelas daerah tujuan, diantaranya Pasukan Khalid bin Walid yang ditugaskan menundukkan Tulaiha Al Asadi, Pasukan Amer bin Ash ditugaskan di Qudla'ah, Suwaid bin Muqrim ditugaskan ke Yaman dan Khalid bin Said ditugaskan ke Syam.

Program Abu Bakar selanjutnya memproyekkan pengumpulan dan penulisan ayat-ayat Al Qur'an. Program ini dicanangkan atas usulan Umar bin Khattab, sedangkan pelaksananya dipercayakan kepada Zaid bin Tsabit.
Semasa pemerintahannya, Abu Bakar juga berhasil memperluas daerah dakwah Islamiyah, antara lain ke Irak yang ketika itu termasuk wilayah jajahan kerajaan Parsi dan ke Syam yang dibawah jajahan Romawi.
Setelah memerintah selama dua tahun, Abu Bakar berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 23 Jumadil Akhir 13 H, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan dekat makan Rasulullah SAW. Ketaatannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta budi luhurnya terkenal.

Bilal bin Rabah ra


Siapa nyana kata-kata yang keluar dari mulut seorang budak Habsyi yang kulitnya hitam legam, kurus kerempeng, tinggi jangkung, berambut lebat, dan bercambang tipis itu suatu ketika berubah menjadi yel-yel yang diteriakkan para mujahid muslim dalam Perang Badar. "Ahad... Ahad...! (Allah Yang Mahatunggal... Allah Yang Maha Tunggal...!)

Kata-kata ini semula meluncur deras dari Bilal bin Rabah, seorang budak dari Bani Jumah, ketika ia disiksa atas perintah majikannya, Umayah bin Khalaf, dengan cara ditelanjangi dan dibakar diterik panasnya padang pasir sambil ditindih batu panas membara. Kata-kata yang disebut Bilal itu menggantikan nama Lata dan 'Uzza yang diteriakkan para pendera agar diikrarkan Bilal sebagai tanda tunduk dan patuhnya mereka terhadap tuhan-tuhan mereka. Kata-kata itu pula yang akhirnya membuat Umayah bin Khalaf menggigil ketika menghadapi Perang Badar. Seolah mengingatkannya akan kegigihan, keteguhan, dan keberanian seorang budaknya dulu yang tetap melafadhkan kata itu sekalipun nyawa menjadi taruhannya.

Mulanya, Bilal sering sekali mendengar majikannya membicarakan Rasulullah dengan nada menuduh, penuh rasa amarah, dan kebencian. Di lain waktu, ia juga pernah mendengar pengakuan Umayah bin Khalaf berasama para pemuka Bani Jumah lainnya yang merasa terkesan dengan kemuliaan Nabi Muhammad SAW, orang yang tengah menyiarkan ajaran baru sekaligus juga dianggap ancaman bagi kelangsungan kepercayaan warisan nenek moyang mereka. Mereka mengakui kejujuran dan ketulusan hati Rasul, serta kesetiannya dalam menjaga amanah. Apa yang mereka ceritakan justru membawa Bilal pada rasa ingin tahu lebih banyak tentang apa dan siapa orang yang dibicarakan itu. Hingga kemudian akhirnya Bilal mendatangi Rasulullah dan bersyahadat di hadapan beliau serta menyatakan ketundukannya pada agama yang dibawa Rasulullah. Umayah bin Khalaf pun murka. Inilah tamparan pahit bagi kehormatannya. Semenjak itu, Bilal menjalani siksaan dan deraan dari majikannya - seperti yang diungkapkan di awal tulisan - sampai suatu ketika Abu Bakar Ash Shiddiq menyelamatkan Bilal bin Rabah dengan cara menebus sekaligus membebaskannya.
Bersama Abu Bakar pula, Bilal menghadap Rasulullah SAW dan kemudian bergabung bersama kaum Muslimin lainnya. Ketika Rasulullah menyeru untuk hijrah dan menetap di Madinah, beliau mulai mensyariatkan adzan sebagai tanda waktu shalat tiba. Namun saat itu belum diputuskan siapa yang akan mengumandangkannya ke seluruh pelosok negeri. Maka Rasulullah SAW kemudian menunjuk Bilal bin Rabah menjadi muadzin yang akan mengumandangkan adzan sebanyak lima kali dalam sehari setiap kali datang waktu shalat. Jadilah Bilal Muadzin pertama bagi Islam.

Persahabatan Bilal dengan Rasulullah terus berlanjut. Tak aneh, tatkala Rasulullah SAW wafat, tak kurang kesedihan Bilal bin Rabah, meskipun Rasulullah wafat dalam keadaan ridha dan diridhai. Pengganti beliau pun yakni Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, ditemui Bilal untuk menyampaikan isi hatinya. Bilal berniat untuk meninggalkan Mekkah menuju Syria sebagai pejuang mujahid. Ketia ia diminta untuk tetap bersama-sama kaum Muslimin di Mekkah dan menjadi muadzin, Bilal menjawab bahwa ia tidak akan menjadi muadzin lagi bagi orang lain setelah Rasulullah.

Kecintaannya terhadap Rasulullah telah membuatnya tidak mampu meneruskan seruan adzannya terutama ketika harus melafadzkan "Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah", kenangan lamanya seolah bangkit kembali sehingga suaranya pun tertelan oleh kesedihan. Adzannya yang terakhir adalah ketika Umar sebagai Amirul Mukminin datang ke Syiria. Orang-orang pada saat itu memohon kepada khalifah untuk meminta Bilal menjadi muadzin bagi satu shalat saja. Amirul Mukminin pun memanggilnya dan meminta Bilal menjadi muadzin. Ketika Bilal naik ke menara dan mulai mengumandangkan adzan, sahabat-sahabat yang mengenal kedekatan Bilal ketika menjadi muadzin Rasulullah SAW, sama-sama menangis mencucurkan air mata, satu hal yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.

Kasih Sayang Rasulullah kepada Anak-anak

Orang-orang yang keras hati tidak akan mengenal kasih sayang. Tidak ada sedikitpun kelembutan pada diri mereka. Hati mereka keras bagaikan karang. Kaku tabiat, baik ketika memberi maupun menerima. Kurang peka perasaan, lagi tipis peri kemanusiannya. Berbeda halnya dengan orang yang dikaruniai Allah Subhannahu wa Ta'ala hati yang lembut, penuh kasih sayang lagi penuh kemurahan. Dialah yang layak disebut pemilik hati yang agung penuh cinta. Hati yang diliputi dengan kasih sayang dan digerakkan oleh perasaan yang halus.
Dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu ia berkata: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pernah membawa putra beliau bernama Ibrahim, kemu-dian mengecup dan menciumnya.” (HR. Al-Bukhari).

Kasih sayang tersebut tidak hanya terkhusus bagi kerabat beliau saja, bahkan beliau curahkan juga bagi segenap anak-anak kaum muslimin. Asma’ binti ‘Umeis Radhiallaahu anha –istri Ja’far bin Abi Thalib- menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam datang menjengukku, beliau memanggil putra-putri Ja’far. Aku melihat beliau mencium mereka hingga menetes air mata beliau. Aku bertanya: “Wahai Rasu-lullah, apakah telah sampai kepadamu berita tentang Ja’far?” beliau menjawab: “Sudah, dia telah gugur pada hari ini!” Mendengar berita itu kamipun menangis. Kemudian beliau pergi sambil berkata: “Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja’far, karena telah datang berita musibah yang memberatkan mereka.” (HR. Ibnu Sa’ad, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Ketika air mata Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menetes menangisi gugurnya para syuhada’ tersebut, Sa’ad bin ‘Ubadah Radhiallaahu anhu bertanya: “Wahai Rasulullah, Anda menangis?” Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menjawab: “Ini adalah rasa kasih sayang yang Allah Subhannahu wa Ta'ala letakkan di hati hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya hamba-hamba yang dikasihi Allah Subhannahu wa Ta'ala hanyalah hamba yang memiliki rasa kasih sayang.” (HR. Al-Bukhari).

Ketika air mata Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menetes disebabkan kematian putra beliau bernama Ibrahim, Abdurrahman bin ‘Auf Radhiallaahu anhu bertanya kepada beliau: “Apakah Anda juga menangis wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menjawab: “Wahai Ibnu ‘Auf, ini adalah ungkapan kasih sayang yang diiringi dengan tetesan air mata. Sesungguhnya air mata ini menetes, hati ini bersedih, namun kami tidak mengucapkan kecuali yang diridhai Allah SWT. Sungguh, kami sangat berduka cita berpisah denganmu wahai Ibrahim.” (HR. Al-Bukhari).

Akhlak Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam yang begitu agung memotivasi kita untuk meneladaninya dan menapaki jejak langkah beliau. Pada zaman sekarang ini, curahan kasih sayang terhadap anak-anak serta menempatkan mereka pada kedudukan yang semestinya sangat langka kita temukan. Padahal mereka adalah calon pemimpin keluarga esok hari, mereka adalah cikal bakal tokoh masa depan dan cahaya fajar yang dinanti-nanti. Kejahilan dan keangkuhan, dangkalnya pemikiran serta sempitnya pandangan menyebabkan hilangnya kunci pembuka hati terhadap para bocah dan anak-anak. Sementara Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam, kunci pembuka hati itu ada di tangan dan lisan beliau. Cobalah lihat, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam senantiasa membuat anak-anak senang kepada beliau, mereka menghormati dan memuliakan beliau. Hal itu tidaklah mengherankan, karena beliau menempatkan mereka pada kedudukan yang tinggi.
Setiap kali Anas bin Malik melewati sekumpulan anak-anak, ia pasti mengucapkan salam kepada mereka. Beliau berkata: “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam.” (Muttafaq ‘alaih).
Meskipun anak-anak biasa merengek dan mengeluh serta banyak tingkah, namun Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam tidaklah marah, memukul, membentak dan menghardik mereka. Beliau tetap berlaku lemah lembut dan tetap bersikap tenang dalam menghadapi mereka.

Dari ‘Aisyah Radhiallaahu anha ia berkata: “Suatu kali pernah dibawa sekumpulan anak kecil ke hadapan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam, lalu beliau mendoakan mereka, pernah juga di bawa kepada beliau seorang anak, lantas anak itu kencing pada pakaian beliau. Beliau segera meminta air lalu memer-cikkannya pada pakaian itu tanpa mencucinya.” (HR. Al-Bukhari).

Abu Hurairah Radhiallaahu anhu menceritakan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali Radhiallaahu anhu. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” (Lihat Silsilah Shahihah no.70).
Anas bin Malik Radhiallaahu anhu menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sering bercanda dengan Zainab, putri Ummu Salamah Radhiallaahu anha, beliau memanggilnya dengan: “Ya Zuwainab, Ya Zuwainab, berulang kali.” (Zuwainab artinya: Zainab kecil) (Lihat Silsilah Hadits Shahih no.2141 dan Shahih Al-Jami’ 5-25).

Kasih sayang beliau kepada anak tiada batas, meskipun beliau tengah mengerjakan ibadah yang sangat agung, yaitu shalat. Beliau pernah mengerjakan shalat sambil menggendong Umamah putri Zaenab binti Rasulullah dari suaminya yang bernama Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’. Pada saat berdiri, beliau menggendongnya dan ketika sujud, beliau meletakkannya. (Muttafaq ‘alaih).
Mahmud bin Ar-Rabi’ Radhiallaahu anhu mengungkapkan: “Aku masih ingat saat Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menyemburkan air dari sebuah ember pada wajahku, air itu diambil dari sumur yang ada di rumah kami. Ketika itu aku baru berusia lima tahun.” (HR. Muslim).
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam senantiasa memberikan pengajaran, baik kepada orang dewasa maupun anak-anak. Abdullah bin Abbas menuturkan: “Suatu hari aku berada di belakang Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam beliau bersabda: “Wahai anak, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: “Jagalah (perintah) Allah, pasti Allah akan menjagamu. Jagalah (perintah) Allah, pasti kamu selalu mendapatkan-Nya di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi).

Telah kita saksikan bersama keutamaan akhlak dan keluhuran budi pekerti serta sejarah kehidupan yang agung. Semoga semua itu dapat menghidupkan hati kita dan dapat kita teladani dalam mengarungi bahtera kehidupan. Putra-putri yang menghiasi rumah kita, selalu membutuhkan kasih sayang seorang ayah serta kelembutan seorang ibu. Membutuhkan belaian yang membuat hati mereka bahagia. Sehingga mereka dapat tumbuh dengan pribadi yang luhur dan akhlak yang lurus. Siap untuk memimpin umat, sebagai buah karya dari para ibu dan bapak, tentu saja dengan taufik dari Allah Subhannahu wa Ta'ala.